“Kami membeli saham ini (IDX:BUKA) untuk investasi jangka panjang, bukannya masuk lalu langsung jual”
“Saham BUKA yang diperoleh dari IPO akan kami bagi menyeluruh dan rata ke semua produk reksa dana milik Sucorinvest AM yang berbasis saham.”
Dua kutipan kalimat di atas saya dapat dari salah satu perkataan yang dilontarkan oleh Investment Specialist dari perusahaan manajer aset kawakan di Indonesia, yaitu Schroders Asset Management dan Sucorinvest Asset Management pada minggu ini, bersumber dari kontan.co.id.
Kedua institusi besar tersebut meyakini bahwa saham PT. Bukalapak.com dengan kode saham IDX:BUKA akan mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang.
Pertanyaannya : Benarkah demikian?
Daftar Isi
Siapa itu Schroders dan Sucorinvest AM?
Sebelum kita ke bagian inti dari tulisan ini, mari kita berkenalan dulu ke kedua perusahaan manajemen aset yang akan kita bahas kali ini.
Kedua perusahaan tersebut adalah Schroders Asset Management dan Sucorinvest Asset Management. Berjalan pada bidang usaha yang sama yaitu manajemen aset.
Schroders AM
Schroders adalah sebuah perusahaan manajemen aset dan private banking yang berinduk di Britania Raya.
Schroders pertama kali didirikan di London, Inggris pada tahun 1818 oleh J. Henry Schröder & Co.
Hingga pada tahun 1991, Schroders resmi masuk ke Indonesia dengan nama Schroders Indonesia.
Izin dari Bapepam-LK sebagai manajer investasi dengan Surat Izin Manajer Investasi No. KEP-04/PM/MI/1997 tertanggal 25 April 1997.
Sucorinvest AM
Sucorinvest Asset Management adalah sebuah perusahaan aset yang didirikan dan berkantor pusat di Jakarta, Indonesia.
Berdiri pada tahun 1999 membuat perusahaan manajemen aset ini salah satu perusahaan manajemen aset kawakan di Indonesia.
Sucorinvest Asset Management pernah berganti nama dari PT Sucorinvest Central Gani menjadi PT. Sucorinvest Asset Management pada tahun 2021.
Perusahaan telah memperoleh izin sebagai manajer investasi dari Bapepam-LK berdasarkan surat keputusan No KEP-01/PM/MI/1999 tanggal 1 Juni 1999.
Dari sejarahnya kita bisa tahu bahwa kedua perusahaan tersebut adalah perusahaan manajer investasi yang sudah besar untuk skala di Indonesia.
Setidaknya sudah 20 tahun lebih dan perusahaan tersebut masih berjalan secara semestinya.
Spekulan Saham Bukalapak
Bukalapak.com melalui PT. Bukalapak.com telah berhasil IPO (Initial Public Offering) pada 6 Agustus 2021 lalu.
Mematok harga Rp850 per lembar saham dengan melepas 25,76 miliar saham baru mewakili 25% kepemilikan saham PT. Bukalapak.com.
Dari IPO yang dilakukan, Bukalapak berpotensi meraup dana hingga Rp19,32 triliun – Rp21,9 triliun.
Dana tersebut dikatakan pada prospektusnya akan digunakan untuk pengembangan bisnis PT. Bukalapak.com.
Banyaknya jumlah dana yang dihimpun dan saham yang beredar membuat banyak investor bertanya-tanya, apakah saham Bukalapak menarik untuk dibeli?
Dari analisis saya pribadi dan analisis investor ternama bersepakat bahwa $BUKA tidak cocok untuk investor ritel yang bermain saham untuk jangka pendek.
Kenapa begitu? mari kita bahas alasannya.
$BUKA Overprice (Terlalu Mahal)
Sebuah emiten saham bisa dikatakan overprice jika P/S-nya (Price to Sales Ratio) lebih dari 5 kali.
Cara menghitung P/S bagaimana?
P/S bisa dihitung menggunakan rumus :
Kapitalisasi Pasar = Harga Saham / Saham Beredar
Dari kasus Bukalapak, kita bisa menghitung P/S-nya dari data Bukalapak yakni:
- Harga Saham = Rp850
- Saham Beredar = 103,06 miliar
- Pendapatan Tahunan = 1,69 triliun
Bisa disimpulkan bahwa P/S Bukalapak seharusnya jika kita mengikuti P/S adalah Rp16 per lembar saham. Artinya Bukalapak menjual sahamnya 53 kali lebih mahal dari harga seharusnya.
850 / 16 = 53
“Harga Rp850 per lembar saham terlampaui tinggi, karena sewajarnya sebuah saham itu hanya memiliki Price to Sales Ratio dibawah 5 kali” Ungkap Rivan Kurniawan, Pengamat Pasar Modal.
$BUKA Susah untuk Naik
Di atas kita sudah menghitung Price to Sales Ratio dari Saham Bukalapak. Selanjutnya kita akan membahas kenapa dikatakan bahwa saham berkode $BUKA itu akan susah harganya untuk naik.
Perlu kamu ketahui lebih dulu, sebuah perusahaan ber-market cap kecil akan memudahkan harga sebuah saham tersebut untuk naik.
Seperti pada kasus saham DCII. Pada saat pertama kali DCII IPO pada 6 Januari 2021, DCII melepas 72,29 juta lembar saham dengan harga Rp420 per lembar.
Artinya, saat IPO kapitalisasi pasar DCII bernilai Rp30,36 miliar.
Coba kita bandingkan dengan Bukalapak. Saat IPO kemarin, Bukalapak melepas 103,06 miliar saham ke publik dengan harga Rp850 per lembarnya.
Dari data saham yang dilepas dengan harga per lembarnya, kita bisa ambil kapitalisasi pasar Bukalapak senilai Rp87,55 Triliun.
Kalian sudah lihat ketimpangan dua emiten saham yang berjalan pada sektor yang sama yaitu teknologi kan?
Apa artinya ini?
Dengan kita mengetahui kapitalisasi pasar sebuah emiten saat IPO. Kita bisa lebih tahu kapan emiten tersebut akan naik.
Semakin ringan kapitalisasi pasarnya, akan semakin mudah dan cepat juga emiten tersebut untuk naik. Berlaku juga untuk kebalikannya.
Dari kapitalisasi pasar Rp87,55 Triliun maka bisa disimpulkan bahwa Bukalapak susah untuk naik, khususnya untuk jangka pendek.
Dampaknya $BUKA untuk Schroders dan Sucorinvest
Dari analisis Price to Sales Ratio dan Kapitalisasi Pasar sebenarnya kita bisa ambil kesimpulan bahwa benar saham Bukalapak cocok untuk jangka panjang, seperti yang dikatakan oleh Investment Specialist Schroders.
Pertanyaan selanjutnya, kapan saham Bukalapak bisa profit?
Untuk pertanyaan ini saya tidak tahu pasti jawabannya, tapi menurut opini saya sendiri Saham Bukalapak akan menguntungkan untuk jangka waktu 4-5 tahun kedepan.
Untuk awal-awal, investor ritel akan berdarah-darah karena saham Bukalapak yang volatil untuk jangka pendek.
Tapi kamu juga perlu ingat bahwa dalam sektor industri yang sama Bukalapak akan mendapati rival yang akan segera hadir dalam waktu dekat.
Ya, Tokopedia dan Go-Jek yang merger baru-baru ini sudah membuat anak perusahaan baru yaitu GOTO.
GOTO yang digadang-gadang akan melantai bursa di IDX dalam waktu dekat akan mengalahkan Bukalapak dalam hal kapitalisasi pasar.
Ini membuat saham Bukalapak bisa saja tambah anjlok karena para investor lebih menyukai GOTO karena lebih dekat dengan banyak orang.
Coba dilihat, siapa yang tidak mau membeli saham dari super apps yang menyediakan layanan lengkap dari marketplace hingga transportasi?
Hal ini yang tidak bisa dikalahkan oleh Bukalapak dan dalam waktu dekat Bukalapak harus mencari duet untuk membendung GOTO.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang sudah kita bahas di atas, pemilik saham Bukalapak sebenarnya harus was-was karena banyak faktor yang akan membuat harga saham Bukalapak kembali turun.
Tak terkecuali pemilik reksa dana saham dari produk-produk Schroders dan Sucorinvest.
Bagi investor yang mempercayakan ke kedua manajer investasi tersebut untuk jangka panjang sih tidak masalah, namun untuk investor yang membutuhkan dana-nya dalam jangka waktu dekat bisa berpikir lebih untuk tetap stay diproduk-produk Schroders dan Sucorinvest.
Tulisan yang saya tulis tidak memiliki ajakan untuk mengikuti 100% opini saya, silahkan sobat investor bisa lebih jeli dan bisa menganalisis keadaan pasar buka untuk sekarang.
Jangan sampai tujuan investasi dari yang awalnya ingin profit malah menjadi buntung.
Salam.
Cheers ~